Ketika Heru 'merevisi' deretan program Anies di DKI
Kepala Sekretariat Kepresidenan Heru Budi Hartono resmi dilantik sebagai penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta pertengahan Oktober lalu. Baru sekitar sebulan menggantikan Anies Baswedan, Heru langsung merilis dan merencanakan sejumlah terobosan.
Hanya beberapa hari setelah bertugas, Heru membuka kembali posko pengaduan warga di Balai Kota. Posko pengaduan merupakan salah satu ciri khas pemerintahan Jokowi-Ahok saat memimpin DKI. Posko semacam itu ditiadakan pada era Anies.
Kebijakan lain yang direncanakan ialah penghijauan kembali kawasan Monumen Nasional (Monas). Pada era Anies, ribuan pohon di Monas, khususnya di area selatan, ditebang. Ketika itu, Anies berencana menjadikan kawasan selatan sebagai plaza beralas beton.
Program lain warisan Anies yang dikoreksi Heru adalah pembangunan jalur sepeda. Sebelumnya, di bawah kepemimpinan Anies, pengadaan jalur sepeda sudah masuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Jakarta 2023 senilai Rp38 miliar.
Di bawah kepemimpinan Heru, anggaran tersebut sempat dicoret. Belakangan, anggaran itu masuk lagi ke dalam RAPBD DKI 2023 dengan nilai sebesar Rp7,5 miliar. Akan tetapi, duit tersebut rencananya bukan untuk membuat jalur sepeda, melainkan evaluasi dan optimalisasi jalur yang sudah ada.
Revisi anggaran juga dilakukan pada program sumur resapan. Dari Rp19,7 miliar, anggaran sumur resapan disunat hingga Rp1 miliar. Sumur resapan merupakan salah satu program andalan Anies menangani banjir DKI Jakarta.
Tak hanya merevisi program, Heru juga terkesan tengah membersihkan orang-orang Anies di BUMD. Akhir Oktober lalu, Heru mencopot Direktur Utama (Dirut) PT MRT Mohamad Aprindy. Baru menjabat tiga bulan, Aprindy ditunjuk Anies tanpa melalui rapat pemegang saham.
Dua pekan lalu, Heru juga mencopot Tatak Ujiyati dari posisinya sebagai Komisaris LRT Jakarta. Tatak ialah salah satu anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Tim itu bubar setelah masa jabatan Anies habis.
Khusus untuk dihentikannya pembangunan jalur sepeda, Ketua Umum Bike To Work (B2W) Indonesia Fahmi Saimima menilai tak ada yang dipersoalkan. Menurut dia, penambahan jalur sepeda sebaiknya memang ditunda.
"Hanya saja, jalur-jalur yang sudah ada untuk segera dievaluasi dan ditingkatkan kualitasnya," ujar Fahmi saat dihubungi Alinea.id, Jumat (25/11).
Pemprov DKI Jakarta, menurut Fahmi, perlu membuat aturan untuk mengelola jalur sepeda. Ia berharap ada turunan aturan dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Di beleid itu, lanjut Fahmi, sudah ada sanksi terhadap penyerobot jalur sepeda. Namun, hanya polisi yang bisa menindak para pelanggar. "Pemprov bisa buat pergub (peraturan gubernur) yang nantinya Satpol PP atau dishub bisa ikut menindak," ujar dia.
Lantas bagaimana dengan kebijakan Heru lainnya? Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengaku setuju dengan kebijakan-kebijakan yang diambil Heru. Ia mencontohkan langkah Heru membubarkan TGUPP. Menurut Gembong, TGUPP bikin boros anggaran.
"Artinya, beliau (Heru) tahu persis cara pemanfaatan alokasi APBD untuk kepentingan rakyat Jakarta," ujar politikus PDI-Perjuangan itu saat dihubungi Alinea.id, Kamis (24/11).
Mengenai jalur sepeda, Gembong menegaskan, fokus ke depan Pemprov DKI ialah evaluasi dan edukasi. "Yang sudah ada dimanfaatkan secara maksimal, yang kurang baik diperbaiki. Kan itu langkahnya," kata dia.
Gembong juga sepakat Monas kembali dihijaukan. Menurut dia, penghijauan Monas merupakan salah satu rekomendasi DPRD kepada Pemprov DKI. Itu supaya Monas menjadi paru-paru kota.
Ke depan, Gembong menyebut ada tiga hal yang diprioritaskan Heru di DKI. "Yaitu mengatasi persoalan banjir, pengentasan kemacetan, dan pemanfaatan tata ruang. Itu menjadi prioritas yang akan dikerjakan Pj Gubernur," ucapnya.
Salahi aturan?
Batasan kewenangan Pj kepala daerah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam ketentuan Pasal 132A ayat (1) PP 49/2008, ada empat hal yang dilarang dilakukan Pj kepala daerah.
Pertama, menggelar mutasi pegawai. Kedua, membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya.
Ketiga, membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya. Keempat, membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benni Irwan mengatakan ketentuan-ketentuan itu bisa dikecualikan jika kebijakan penjabat telah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.
“Jadi kalau dia (Pj kepala daerah) ingin melakukan mutasi, dia harus membuat permohonan izin dulu kepada Menteri Dalam Negeri,” kata Benni kepada Alinea.id, Rabu (23/11).
Asalkan tidak melanggar batasan dalam PP, menurut Beni, penjabat bebas merilis kebijakan-kebijakan baru meskipun terkesan bertentangan dengan kebijakan kepala daerah sebelumnya. "Poin utamanya adalah tidak melanggar empat batasan yang sudah ditentukan," imbuh dia.
Sepak terjang pejabat, kata Benni, juga tidak akan lepas dari pengawasan Kemendagri. Pasalnya, para penjabat kepala daerah wajib melaporkan kinerja mereka kepada pemerintah per tiga bulan sekali. Laporan para penjabat ditampung Kemendagri sebelum disampaikan kepada presiden.
Laporan pertanggungjawaban tersebut yang menjadi pertimbangan evaluasi kinerja para penjabat kepala daerah. “Dari evaluasi itu ada satu (Pj kepala daerah) yang sudah diganti. Kemudian beberapa mendapat penilaian rendah dan beberapa masih dalam koridor yang baik,” ujar Benni.
Benni menambahkan, pemberhentian penjabat kepala daerah yang melanggar aturan berlaku untuk semua tingkatan, termasuk untuk posisi gubernur. Seiring itu, Kemendagri juga bakal memberikan peringatan kepada penjabat yang kinerjanya buruk.
“Tidak ada perbedaan (perlakuan). Publik kan juga bisa melihat. Kita juga mendapatkan masukan-masukan dari teman-teman LSM (lembaga swadaya masyarakat). Kita juga mendapatkan masukan dari teman-teman media. Kan banyak sekali dinamika yang terjadi di lapangan,” kata dia.
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Purwanto mengatakan Heru memang memiliki kewenangan dalam mengambil kebijakan-kebijakan untuk mengelola ibu kota. Asalkan masih sejalan dengan arahan pemerintah pusat dan rekomendasi DPRD, menurut dia, tak jadi soal jika kebijakan dianggap bertentangan dengan kepala daerah sebelumnya.
“Sejauh ini, memang tidak ada deskripsi kebijakan-kebijakan apa saja, baik dalam undang-undang (UU) maupun dalam peraturan tata pelaksanaannya, yang mengatakan seorang Pj kepala daerah dilarang untuk melakukan hal-hal satu, dua, tiga, dan seterusnya,” ucap dia kepada Alinea.id, Rabu (23/11).
DPRD juga bakal rutin mengevaluasi kinerja Heru. Dalam evaluasi, parameter yang digunakan iallah apakah kebijakan yang diambil Heru bersifat normatif atau tidak. Selama kebijakan yang diambil Heru bertujuan baik, menurut Purwanto, DPRD bakal mendukung.
“Fokus kemarin untuk 2023 anggaran yang kita bahas, Pj gubernur itu menekankan pada penanganan banjir dan penertiban atau mengurangi kemacetan di ibu kota. Dan itu memang persoalan yang dari tahun ke tahun belum diselesaikan,” ujar dia.
Rawan kontroversi
Peneliti Pusat Riset Politik-Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Siti Zuhro menilai para penjabat seharusnya hanya menjalankan program-program yang dirancang kepala daerah sebelumnya. Program atau kebijakan yang krusial sebaiknya harus mendapat izin dari Kemendagri. Dengan begitu, kebijakan yang dirilis tidak dianggap bermuatan politis.
“Jadi, keputusan politik top down-nya seperti itu. Katakanlah, men-delete atau meniadakan kebijakan yang sudah dilakukan atau tidak melanjutkan sama sekali dan bahkan mengubah. Yang sudah jadi, itu dibongkar. Itu satu contoh. Itu kan memakan waktu,” jelas Zuhro saat dihubungi Alinea.id, Rabu (23/11).
Zuhro menganggap wajar jika kebijakan-kebijakan Heru yang terkesan kontra Anies memicu kontroversi. Dia mengingatkan, legitimasi Pj kepala daerah hanya dari atas ke bawah alias harus sesuai kebijakan pusat. Itu tak seperti kepala daerah definitif yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada.
“Jadi, ini juga yang harus diperhitungkan, bahwa Pj tidak hanya menjaga polarisasinya dengan DPRD. Katakan, mungkin, dengan ketua DPRD oke, tapi juga dengan rakyat,” jelasnya.
Zuhro menyarankan agar Heru tidak mengambil kebijakan yang sifatnya kontroversial secara politik. Menurutnya, hal tersebut hanya akan memicu gimmick-gimmick politik dan kegaduhan jelang Pemilu 2024.
“Kalau barometernya penjabat di Jakarta tidak menunjukkan kualifikasi kualitasnya sebagai penjabat yang profesional, hanya mungkin dominan politiknya, ini yang akan menimbulkan, nanti, satu perdebatan yang akan panjang,” katanya.
Dari sisi regulasi, Zuhro menjelaskan, Pj kepala daerah memang diberikan otoritas untuk mengeksekusi program-program. Namun, dia menekankan, program yang dijalankan bukan program yang bisa memicu kontroversi.
DPRD, sambung Zuhro, harus melaksanakan fungsi pengawasan supaya Pj kepala daerah tetap melanjutkan visi dan misi pejabat sebelumnya. Kemendagri juga perlu melaksanakan fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan (korbinwas) terhadap semua gubernur.
Pada tingkat provinsi, gubernur melakukan hal yang sama terhadap bupati dan wali kota yang ada di wilayahnya. Menurut Zuhro, korbinwas harus dilaksanakan secara efektif sebab ketentuan tersebut sudah tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
“Jadi, tolong pemerintah nasional, Kemendagri dalam hal ini, melakukan korbinwas-nya. Fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan tadi itu ada. Pasalnya rigid banget di situ (UU Pemda), detail. Jadi, termasuk tentunya terhadap penjabat (kepala daerah),” ujarnya.